Senin, 16 April 2012
Pendidikan Dalam cengkraman Kapitalisme!
Oleh : Daniel Pay Halim, Aktivis Resista Yogyakarta
Menuju HARDIKNAS 2 MEI 2012
Berbicara pendidikan hari ini, siapa yang tidak ingin mencapai impiannya dibangku pendidikan hingga setinggi – tinggi mungkin. Dari Sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi negri maupun swasta, dari yang tidak paham menjadi paham, hingga berujung dengan gelar yang disandang nantinya. Akan tetapi, bagaimana realitas pendidikan hari ini?
Pendidikan pada dasarnya adalah membebaskan manusia dari kebodohan dan ketertindasan. Jika kita melihat pendidikan dalam arti secara nasional, pendidikan mempunyai makna bahwa “untuk mencerdaskan bangsa dan manusia yang mempunyai perspektif pembebasan”. Sejarah Yunani kuno mendiskripsikan pendidikan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan bukan hanya dari ruang kelas (kurikulum, jadwal, fasilitas) tetapi dari praktik realitas yang ada di (pasar, mimbar, pengadilan, buruh pabrik, dll) kemudian itu yang menjadi suatu ilmu. Dan kemudian fungsi guru itu sendiri hanya melahirkan kebenaran dalam diri setiap individu, bukan kebenaran yang dihadiahkan kepada murid.
Lalu bagaimana sistem pendidikan yang ada di Indonesia sekarang? Komponen yang digunakan sistem pendidikan hari ini adalah persolan kurikulum. Perubahan kurikulum sejak 1968, 1975, 1984, 1994 dan pada tahun 2002, yaitu kurikulum berbasis kompetensi. Penetapan kurikulum berbasis kompetensi ini hanyalah jawaban atas rendahnya kualitas lulusan sekolah maupun perguruan tinggi yang akan masuk dunia kerja.
Adapun pengertian standarisasi yang di maksudkan adalah keahlian dalam bidang profesi tertentu yang tak lain hanyalah pemenuhan tenaga kerja yang akan masuk ke perusahaan-perusahaan sesuai dengan keahliannya.
Standarisasi keahlian di jadikan kurikulum berdasarkan kemajuan teknologi pada perusahaan-perusahaan yang akan membutuhkan tenaga-tenaga terampil yang dapat mengoperasikan mesin-mesin produksi untuk menghasilkan modal dalam jumlah besar.
Secara implisit kurikulum berbasis kompetensi akan mereduksi materi/subtansi tertentu yang tidak signifikan untuk perkembangan industri dan hal ini akan semakin memperpendek masa studi sehingga akan semakin banyak tenaga siap pakai dan murah bagi perusahaan-perusahaan.
Pendidikan hari ini direduksi tidak lagi berdasarkan minat tetapi didasarkan atas kebutuhan sistem kapitalisme (pemilik modal). Mata kuliah yang ada kemudian dipecah-pecah dan direduksi prosesnya menjadi lebih pragmatis dan yang tak sesuai dengan kepentingan pemilik modal akan dibuang dan disampaikan dalam potongan-potongan ilmu yang dinamakan Satuan Kredit Semester (SKS). Dan terjadilah pemangkasan masa studi menjadi lebih singkat, dari 6 sampai 7 tahun menjadi 4-5 tahun. Untuk menjamin pasokan tenaga kerja terdidik yang lebih cepat untuk disalurkan kepada pemilik modal. Dan tentu saja ini lebih menguntungkan pemilik modal ketimbang mahasiswa/i, yang kemudian harus mengejar target SKS di bawah ancaman D.O atau pemutihan. kemudian mahasiswa/i tersebut dibentuk dengan tanpa mempunyai rasa kepedulian social seperti pasif, cuek, dan mementingkan diri sendiri. Dan inilah kedepannya yang akan menjadi penindas – penindas baru bagi sebagian besar masyarakat yang tidak mampu dalam mengenyam dunia pendidikan.
Dalam UUD’45 pasal 31 ayat 4 disebutkan bahwa “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang – kurangnya 20% dari anggaran pendapatan belanja Negara (APBN) serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggara pendidikan nasional”. Jika kita melihat dan meniliti lebih lagi, fakta tersebut ternyata belum berjalan/terwujud! Alokasi anggaran untuk pendidikan pernah mencapai 14% dan hal tersebut masih mengalami pemangkasan oleh Menkeu pada tahun 2007.
Satu hal yang dapat disingkronkan ketika berbicara pendidikan adalah dari yang tidak paham menjadi paham. Kemudian mengabdikan pandangannya tersebut kepada masyarakat. Jika berbicara fakta hari ini, benarkah pendidikan dan nilai – nilai yang terkandung didalamnya berguna dan bermanfaat bagi masyarakat???
Yang terjadi justru adalah pendidikan dijadikan komoditi bagi sebagian orang untuk mendapatkan keuntungan berlebih (modal) dan untuk mencetak tenaga kerja baru bagi perusahaan-perusahaan, yang berimbas pada komersialisasi pendidikan.
Berbicara pendidikan artinya adalah berbicara proses derajat. Kelas dalam bahasa dramatikalnya bukan ruang atau gedung melainkan suatu manfaat dan berbasiskan realitas masyarakat. Semua pengetahuan yang diberikan pendidikan hari ini tidak pernah disingkronkan dengan kondisi objektif masyarakat akan tetapi lebih kepada kepentingan pasar, yaitu sistem untung rugi yang diciptakan oleh pemodal. Dimana pendidikan menjadi mahal dan sulit untuk diakses oleh masyarakat Indonesia yang masih tergolong miskin. Maka hanya orang - orang yang berduit sajalah yang mendapatkan pendidikan tersebut.
Jika hari ini kepentingan Negara masih berlandaskan kepentingan pemodal, maka kepentingan pendidikan hari ini pun akan berlandaskan pemodal juga, dan sebaliknya. Bila amanat Negara mengatakan “pendidikan adalah hak – hak dari setiap orang dan dilindungi oleh undang – undang” maka fakta sekarang amanat Negara tersebut hanyalah menjadi sampah belaka! Pendidikan sejatinya bukanlah perusahaan yang orientasinya uang, bukan juga formalitas yang penuh dengan kekosongan. Dan jika system pendidikan tidak pernah berubah, maka kurikulum tersebut akan melahirkan robot – robot penindas baru bagi sebagian orang yang tidak dapat mengenyam didunia pendidikan. Oleh karenanya, kita sebagai mahasiswa/i sedari dini perlu untuk meningkatkan kesadaran apa itu esensi pendidikan dan kemana tujuan dari pendidikan tersebut. Bersatu dan melakukan perlawanan terhadap system komersialisasi pendidikan adalah sebuah jalan sebelum nantinya kita dijadikan robot – robot penindas baru di Negeri sendiri.
Tim Independen Insadha
Insadha tahun ini memiliki banyak perbedaan. Keberadaan ”Tim Indepedent” adalah salah satu perbedaan insadha tahun ini dibandingkan insadha tahun – tahun sebelumya.
Tim Indepedent dibentuk oleh BEMU dan mempunyai tugas mengawasi dan menyeleksi anggota panitia insadha.
Jika Pemerintah Republik Indonesia rezim SBY mempunyai Satgas anti Korupsi dan satgas – satgas yang lain, pemerintah mahasiswa USD orde Sonny Farlin pun mempunyai satgas sendiri yang dinamakan Tim Independent.
Organisasi kemahasiswaan USD sebenarnya mempunyai Dewan Perwakilan Mahasiswa yang mempunyai tugas mengawasi kegiatan yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa namun mengalami benturan tugas dengan satgas BEMU tersebut.
Otoritas dan hak kordinator seksi untuk menentukan siapa – siapa saja yang menjadi temannya dalam bekerja di kepanitiaan menjadi terbatas dan terhalangi, walaupun maksud adanya tim independent untuk menghilangkan unsur nepotisme.
Penugasan yang tumpang tindih antara tim independent, kordinator tiap seksi, dan DPMU justru mengaburkan pandangan akan tugas tim independent sendiri. Kejadian serupa juga dialami antara satgas – satgas pemerintah dan lembaga lain yang lebih dulu dibentuk, misal Satgas anti Korupsi yang dulu dipimpin Denny Indrayana berbenturan dengan KPK.
Minimnya sosialisasi dan informasi mengenai fungsi tim independent bisa mengakibatkan kerancuan tugas antara satu bagian kepanitiaan dengan tim yang dibentuk.
Terlebih dengan kepanitiaan yang dipenuhi semangat eksistensi, konflik akibat orientasi untuk melebihkan dirinya sulit untuk dihindarkan.
Kemana nanti perginya tim independent jika mereka menemukan masalah kalau bukan pada BEMU. Jika begitu adanya tidak pantas kita menyebut mereka ”Tim Independent”. Namun seandainya tidak, bagaimana caranya nanti tim independent bertindak? Teman – teman panitia masih punya independensisi untuk itu.
Persiapan Trihari Suci
USD, Paingan - Campus Ministry membentuk sebuah panitia untuk liturgi dalam menyambut kebangkitan Yesus. Panitia ini dibentuk dari komunitas di Paingan, yaitu JKMK dan Kompai, tidak tertutup pula untuk perekrutan umum (mahasiswa di luar JKMK dan KOMPAI).
Persiapan panitia ini menghabiskan waktu selama 1 bulan. Pada awalnya komunitas JKMK dan Kompai diberdayakan dalam membentuk panitia, kemudian mencari dan mereqruitment panitia secara umum. Mereka pun dibebaskan untuk memilih sendiri bagian yang akan mereka pilih.
Pertemuan perdana dari kepanitiaan ini dipimpin oleh Ketua Umum. Dalam pertemuan tersebut dibahas mengenai arah Pekan Suci tahun ini dan bagaimana acara yang akan ditampilkan.
Secara garis besar, tema Pekan Suci ini yang berasal dari Keuskupan Agung Semarang adalah “Menjadi Katolik Sejati untuk Peduli dan Berbagi”. Secara khusus, panitia membentuk tema untuk setiap Hari Suci. Tema pada Minggu Palma adalah ‘Buka Hatimu, Genggam TanganKu’.
Pada Minggu Palma ini, ada pertunjukan kecil yaitu mengenai kehidupan nyata para mahasiswa saat ini. Sasaran pertunjukan ini adalah untuk Mahasiswa Sanata Dharma sendiri. Ide tentang pertunjukan tersebut muncul untuk para mahasiswa dan sekaligus menyambungkan ke bacaan.
Tema pada Kamis Putih adalah “Inilah Wasiat DiriKu, Apa yang Kau Perbuat?” yang diwarnai dengan time show. Time Show ini mengangkat cerita dari sepasang kekasih, namun pasangan laki- lakinya tidak mau diajak pergi ke Gereja karena sudah tergiur kehidupan duniawi. Akhirnya digambarkan bahwa Yesuslah yang akhirnya merengkuhnya untuk kembali ke Gereja.
Tema pada Jum’at Agung adalah “Kurengkuh deritamu dalam HidupKu”. Pada Jum’at Agung ini, tidak diadakan pertunjukan kecil karena merupakan suatu ibadat. Tema pada Minggu Palma, Kamis Putih dan Jum’at Agung ini, ditentukan oleh ketua dari tim 1 dan tim 2 Perayaan Paskah.
Kemudian tema pada Malam Paskah adalah “Tiada Galau dengan Peduli dan Berbagi”.Tema ini ditentukan oleh Romo Elias, SJ, yang merupakan pendamping Campus Ministry.
Pada malam Paskah ini, misa dikemas dengan gaya yang agak berbeda dari misa pada tahun sebelumnya. Bacaan mengenai penciptaan dunia dibacakan sebelum Upacara Cahaya, dengan tujuan agar dapat lebih mendapatkan romansa kegelapan sebelum penciptaan dunia.
Tema pada Pekan Suci ini dibuat dengan patokan bacaan, untuk mencari benang merahnya. Rapat mengenai persiapan Paskah ini banyak dilakukan secara kelompok, sedangkan rapat umum ditentukan oleh Ketua.
Hambatan secara umum pada persiapan Pekan Suci ini adalah adanya dasar yang berbeda dari tiap individu dalam menyatukan jalannya liturgi. Selain itu, secara teknis, alat yang disiapkan untuk mendukung Ekaristi harus benar-benar dapat menghidupkan Ekaristi.
Romo pada Pekan Suci ini diusulkan oleh sekretariat Campus Ministry, terutama romo yang dapat dengan mudah dikonfirmasi. Kadang ada romo yang mengatur jalannya liturgi, tetapi ada pula yang mengikuti panitia.
Romo Elias yang merupakan romo pembimbing Campus Ministry menyatakan bahwa Pekan Suci tahun ini diharapkan adanya keterlibatan mahasiswa. Ide awal pada Pekan Suci ini adalah keprihatinan pada masyarakat, kemudian romo membebaskan mahasiswa untuk membuat ide dan tema.
Romo mencoba melihat apa yang bisa diangkat oleh mahasiswa dari kehidupan mereka sendiri. Tema Pekan Suci ini diharapkan dapat saling terangkai dan berurutan, meski disusun di tengah dinamika panitia yang penuh canda, tawa dan tangisan dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan.
Menurut romo Elias, proses dinamika ini membuat mahasiswa dapat saling mengenal satu sama lain, dan kepahitan yang terjadi merupakan Prapaskah bagi mereka sendiri. Menurut beliau, acara ini sudah berhasil dan hari ini (12/04) sedang dilaksanakan evaluasinya.
Romo Elias sendiri menyatakan bahwa setelah evaluasi ini berlangsung, akan diadakan refleksi agar mahasiswa dapat menemukan arti dari makna kepanitiaan dan kegiatan tersebut.
(YS/AR)
Gleen Fredly Kunjungi Sanata Dharma
USD, Mrican – Gleen Fredly pada hari Kamis, 12 april 2012 berada di Kampus 2 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Glenn tidak datang sebagai penyanyi, namun dia datang sebagai aktivis VOTE. VOTE atau Voice From The East merupakan organisasi yang didirikan untuk solidaritas masyarakat Indonesia Timur.
Glenn bersama dengan direktur ICW (Indonesia Coruption Watch) dan salah satu aktivis untuk Papua menjadi pembicara dalam diskusi yang diselenggarakan oleh LPM Natas USD. Menurut Glenn, VOTE secara khusus melakukan sosialisasi – sosialisasi permasalahan di Indonesia Timur supaya masyarakat Indonesia dapat menilai secara obyektif permasalahan yang ada di Indonesia Timur.
Diskusi yang dihadiri oleh anggota – anggota pers mahasiswa dari berbagai kampus ini mengungkap banyak hal permasalahan di Papua. Pembicara dari aktivis untuk Papua menuturkan, pada zaman Presiden Soekarno pembagian hasil tambang emas dari Papua 60% untuk Indonesia dan 40% untuk asing, sedangkan ketika Pak Harto berkuasa pembagian itu menjadi 1% untuk Indonesia dan 99% untuk asing.
Menurut direktur ICW, pemerintah pusat sendiri seakan tidak peduli dengan kondisi Papua, anggaran yang dikucurkanuntuk pemerintah daerah di papua dari pemerintah pusat tidak sebanding dengan jumlah penduduk di sana. Gleen Fredly sendiri juga menekankan bahwa Indonesia bukan Jakarta saja, tapi Papua juga Indonesia yang perlu diperhatikan.
Setelah diskusi berakhir, peserta diskusi diberikan kesempatan untuk berfoto bersama dengan Glenn Fredly dan dimumkan bahwa esok harinya Gleen akan tampil menghibur sekaligus berdiskusi di halaman Multiculture Realino USD, Mrican.
(DM/AR)
Langganan:
Postingan (Atom)